Food Business Food Ideas

Kuliner Sigi yang menjadi Favorit Kaum Urban

Bicara kuliner lokal Indonesia memang tidak akan pernah ada habisnya, dan selalu ada saja yang menarik untuk dicicip dan dieksplorasi. Tak terkecuali kuliner Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, yang menyimpan kekayaan kuliner sangat menarik.

Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), yang merupakan asosiasi pemerintah kabupaten untuk mewujudkan pembangunan yang menjaga lingkungan dan mensejahterakan masyarakat melalui gotong royong multipihak – telah menggelar acara Festival Lestari, yang di dalamnya tercakup kegiatan Telusur Rasa Lestari: Jelajah Rasa dan Budaya Kabupaten Sigi. Program tersebut merupakan salah satu bentuk implementasi visi ekonomi lestari di level tapak, yang berupaya memanfaatkan potensi alam, keanekaragaman hayati, serta budaya yang dikelola secara berkelanjutan, bersama SDM lokal dalam rangka memaksimalkan potensi ekonomi lestari.

Dalam pers release yang diterima redaksi Kulinologi Indonesia pada Rabu (18/10), kegiatan ‘Telusur Rasa Lestari’ mengundang sejumlah praktisi dalam dunia kuliner yang tergabung dalam Mitra gotong Royong Merangkai Rasa Lestari, yang terdiri dari Cork & Screw (UNION Group), Kaum Restaurant (Potato Head Group), Nasi Peda Pelangi, Masak TV, Kang Duren, dan Parti Gastronomi. Mereka mencicipi makanan dari dapur masyarakat Kabupaten Sigi, sekaligus mengkreasikan makanan khas daerah tersebut, dan terpukau oleh rasa masakan Sigi yang kaya rasa meski minim bumbu.

Kepala Bidang Ekonomi Kreatif, Dinas Pariwisata Kabupaten Sigi Sakina Ta’ruf menjelaskan, Sigi memiliki potensi kuliner yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Ada lima masakan yang potensial untuk diangkat, karena cita rasanya yang lezat, meski cara memasaknya sangat sederhana. Lima masakan itu adalah ayam bambu (ayam bakar dalam bambu), ayam biromaru (ayam panggang bumbu santan merah), uta dada (ayam kampung panggang kuah santan), kaledo (sup tulang kaki asam pedas), dan uta kelo (sayur kelor santan).

Berbeda dari masakan khas Sumatra yang kaya rempah, masakan Sigi justru sangat minim bumbu. Tapi, rasanya tak kalah sedap, karena menonjolkan keaslian cita rasa bahan utamanya. Menariknya, bumbu andalan warga Sigi hanya dua, yaitu rica (cabai) dan garam. Terkadang ditambahkan asam jawa dan daun lemon. Itu saja sudah cukup membuat hidangan jadi begitu menggugah selera.

“Kalau masak ikan, tak perlu pakai bawang. Masakan malah jadi kurang sedap. Cukup rica (cabai) dan garam. Kalau mau, bisa ditambahkan daun lemon. Sudah, itu saja. Karena, rasa masakannya didapat dari gurih dan manisnya ikan itu sendiri. Kalau ingin rasa yang lebih gurih, tambahkan saja ikannya,” kata Endan, seorang ibu rumah tangga yang setiap hari memasak masakan khas Sigi. Sambal khas Sigi pun sangat menggugah selera. Untuk menemani ikan bakar, misalnya, Endan akan membuat sambal dari tomat cherry yang dibakar, lalu ditumbuk dengan rica dan lokio.

Tinggal petik saja di kebun

Kabupaten Sigi memiliki pasar yang unik, tidak buka setiap hari. Pasar di setiap daerah berbeda hari buka dan dalam seminggu buka hanya satu atau dua hari saja. Namun, hari pasar ini hanya berlaku di Kabupaten Sigi wilayah lembah tidak dengan di daerah pegunungan karena tidak terdapat pasar. Jadi, bagaimana ibu-ibu bisa mendapatkan bahan untuk memasak? Ternyata mereka tinggal buka pintu rumah, lalu petik saja daun yang ingin dimasak. Bagi yang tinggal di perkotaan mungkin sulit mencari daun kelor sarat gizi yang sedang naik daun. Dan kalau ada pun biasanya daun yang sudah dikeringkan dijual di supermarket.

Di Sigi, hampir di tiap halaman rumah terdapat tanaman kelor. Masaknya mudah, hanya dibuat sayur bening atau dimasak santan. Daun-daun lain pun banyak terdapat di kebun, seperti daun singkong, daun pakis, daun labu, dan kangkung. Begitu juga dengan bumbu yang biasa dipakai, seperti daun bawang atau lokio, rica, dan lemon.

“Kami tanam juga labu kuning dan labu siam. Kalau bisa tanam sendiri, kami tidak beli. Kadang-kadang kami bagi juga hasil kebun ke tetangga, karena terlalu banyak untuk dihabiskan sendiri. Banyak rumah yang juga menanam kecombrang, atau kami ambil saja di hutan yang tidak jauh dari rumah dan bisa dijangkau dengan berjalan kaki,” kata Endan, yang kerap memasak utu tikala, yaitu tumis pakis dan kecombrang.

Untuk mendapatkan protein hewani, penduduk Sigi juga tidak pergi ke pasar yang terdapat di kota. Seandainya ingin memasak ikan, tinggal pancing ikan mujair dari Danau Lindu saja. Daging ikan mujair dari danau ini terkenal manis dan gurih, berbeda dari yang biasa diambil dari empang atau danau lain. Sementara itu, kalau ingin masak ayam, tinggal ambil dari kandang atau beli di tetangga yang banyak beternak ayam kampung. Warga Kabupaten Sigi hanya turun ke kota, kalau perlu membeli bumbu, seperti bawang merah, bawang putih, dan bumbu penyedap. Itu pun jarang sekali.

Lestarikan kuliner lewat festival

Sakina sangat mengapresiasi kegiatan Telusur Rasa Lestari. Menurutnya, acara seperti ini sangat membantu dalam melestarikan sekaligus mempromosikan kuliner Sigi. Apalagi, di tangan para chef yang unjuk kebolehan saat festival, kuliner Sigi bisa tampil lebih mewah dengan rasa yang semakin kaya.

Salah satu masakan yang disajikan dalam acara tersebut adalah karoda kungku, yaitu bubur dari tepung jagung yang dicampurkan dengan suwiran daging ikan mujair. Bumbunya, apa lagi kalau bukan rica dan garam. Endan menyebutkan, masakan khas Sigi itu kini mulai langka dan tak sering lagi dimasak oleh warga Sigi. Menurutnya, masakan tersebut bahkan hampir terlupakan, dan tak banyak generasi muda yang mengenalnya. Kenapa demikian?

“Bisa jadi karena sekarang beras mudah didapat. Dulu tidak ada beras. Makanan pokok kami adalah jagung. Kami giling jagung sendiri, lalu ambil tepungnya dan dibuat masakan, seperti karoda kungku, yang berasal dari Kecamatan Lindu,” kata Endan, yang sering merasa rindu dengan masakan seperti ini.

Pengusaha abon ikan mujair itu berpendapat, untuk melestarikan kuliner Sigi, para ibu di Sigi harus mengajarkan cara memasak masakan Sigi kepada anaknya, sehingga resep dan keterampilan memasaknya diwariskan secara turun-temurun. Dengan begitu, masakan Sigi akan terus lestari. Di samping itu, menurutnya sejarah atau kuliner Sigi perlu dimasukkan dalam muatan pelajaran lokal di sekolah.

Sedangkan menurut Nadya Dharmawan, pemilik Warung Gotong Royong Nasi Peda Pelangi, memperkenalkan makanan lokal Sigi harus dilakukan secara pop dan konsisten, diikuti dengan narasi yang akan melengkapi pengalaman makan tersebut. “Misalnya, diperkenalkan melalui berbagai festival di ibukota dengan tambahan aktivitas seru, seperti lomba makan sate ayam biromaru atau berkolaborasi dengan warung lokal yang menyajikan pengalaman lima panca indra manusia, seperti yang kami lakukan di Sehari Rasa Sigi kemarin.”

Menanggapi usul tersebut, Sakina mengatakan, “pada November nanti kami juga berencana menggelar Festival Danau Lindu yang keempat. Acara dua tahunan ini juga akan memamerkan dan memasarkan makanan dan masakan khas Sigi. Masyarakat lokal dan wisatawan dari daerah sekitarnya sangat antusias dengan acara tersebut.”

Potensial jadi favorit kalangan urban

Sakina punya mimpi, kuliner Sigi bisa mengglobal. Sebelumnya, tentu perlu dikenal luas dahulu di Indonesia. Langkahnya terbuka, ketika pada acara 17 Agustus 2020 ada dua hidangan khas Sigi yang disajikan di Istana Negara, yaitu ayam panggang biromaru dan kaledo. Namun, ia menjelaskan, langkah untuk mempromosikan untuk keluar kota masih terhambat. Karena, masakan Sigi berpotensi cepat basi. Sehingga, sulit untuk dikirim ke luar kota.

Jessica Eveline, salah satu sosok kaum urban Jakarta berpendapat, untuk mempromosikan kuliner Sigi, pemerintah Kabupaten Sigi bisa bekerja sama dengan pegiat kuliner yang punya visi serupa, yaitu mengembangkan makanan lokal Indonesia. Cara promosinya bisa melalui narasi menarik tentang cerita di belakang makanan dan bahan-bahannya.

“Kuliner Sigi punya potensi yang menarik untuk penduduk urban Jakarta, karena makanan yang disajikan sangat sehat, simple, tidak memakai bahan penyedap yang berlebihan, dan memanfaatkan hasil buminya yang masih terjaga kualitasnya. Masakan seperti ini sedang menjadi trend di kalangan urban Jakarta. Mereka mencari makanan sehat yang berasal dari sumber yang alami,” katanya.

Senada dengan Jessica, Nadya menilai bahwa kuliner Sigi akan disukai anak muda. “Sigi punya ayam biromaru, ayam panggang dengan bumbu barbeque versi Indonesia. Dan, masih banyak lagi makanan yang otentik, yang dapat menyuguhkan pengalaman makan yang baru bagi konsumen urban, yang sebenarnya sudah mulai bosan dengan makanan di kota yang itu-itu saja.”

Sementara itu, Fernando Sindu, Head Chef Cork & Screw mengamati, ada beberapa produk pangan rumahan yang sebenarnya bisa dikemas ulang lalu dikirim ke luar Sigi. Misalnya, kecap rempah yang bukan terbuat dari kedelai, melainkan dari kemiri. Rasanya enak dan bisa dipakai untuk beberapa jenis masakan lokal. Begitu juga dengan bumbu merah biromaru, yang meskipun pakai santan, pasti bisa tahan lama dengan pengemasan bertekanan tinggi.

“Sambal dari Desa Lindu juga sangat mungkin dikemas, dibuat seperti sambal kemasan terkenal dari Surabaya. Lebih sedap lagi, jika dicampur dengan suwiran daging ikan mujair asap. Tampilannya jadi seperti sambal roa. Saya yakin, sambal ini bisa masuk pasar dunia,” kata Nando, yang jatuh cinta pada rasa manis legit gula merah asli Sigi.

Kuliner Sigi naik kelas

Di Jakarta banyak terdapat resto papan atas yang menawarkan masakan-masakan daerah, misalnya resto khas Manado, Padang, juga Papua. Meski menggunakan bahan pangan dan bumbu lokal, harga makanannya tidak bisa dibilang murah. Lalu, bagaimana caranya agar kuliner Sigi paling tidak bisa disajikan di resto papan atas?

Jessica mengusulkan, masakan Sigi bisa dikemas sedikit lebih modern, sehingga lebih menarik dan lebih mudah diterima warga urban. “Bisa juga dibuat kreasi masakan yang lebih modern dengan bahan unggulan lokal dari Sigi. Selama tiga bulan Resto Kaum menyajikan menu spesial yang dikemas dalam menu Cipta Rasa vol. Sigi. Menu yang disajikan, antara lain galo kaledo, urap uta kelo, ayam biromaru, dan kue tetu balapis.”

Warung Nasi Peda Pelangi juga menyajikan ayam panggang biromaru selama satu bulan dalam program Sehari Rasa dan mendapat respons sangat positif dari para pelanggan. Yang sekarang sedang berada di tahap research and development adalah ikan bakar sambal dabu dan ayam bambu. Jika berhasil, menu-menu tersebut rencananya akan dikeluarkan secara bergantian.

Tentang fusion food yang mengkreasikan kuliner Sigi, Nadya berpendapat, “bisa juga dibuat fusion food berdasarkan imajinasi pencipta menunya. Misalnya, dengan gaya Amerika Latin. Ikan dan hasil lautnya bisa dimasak ala Jepang. Bumbu merah biromaru bisa dibuat setenar bumbu merahnya toppoki, misalnya.”

Nando juga sepakat, bahwa kuliner Sigi sangat bisa dikreasikan menjadi menu fusion. Bahkan, ia sudah mempraktikkannya. “Rasa ayam biromaru mirip sekali dengan chipotle chicken dengan peri-peri sauce dari Amerika Latin. Bedanya, bumbu biromaru lebih creamy karena pakai santan, sementara peri-peri lebih asam karena pakai cuka. Saya coba pasangkan ayam panggang biromaru dengan chimichurri sauce dari Argentina, dan nasi bawang putih dari Peru. Paduannya enak sekali dan masuk akal.”

Nando dan tim juga membuat program Rasa & Bar Lokal: An Independence Day Celebration with Flavors of Sigi, menyajikan 10 sajian khas Sigi dalam set menu yang sangat menarik. “Melalui set menu tersebut, kami bercerita tentang pelajaran apa saja yang kami dapat selama berada di Sigi, bahan apa saja yang kami temukan, juga cerita di balik kuliner Sigi. Perjalanan dan pengalaman ini harus diceritakan dengan banyak makanan. Dan, program tersebut mendapat respons sangat positif. Banyak yang minta dibuatkan acara seperti ini lagi.” KI-08

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *