Perlahan tapi pasti, gaya restoran di negara-negara dengan penduduk besar di dunia, seperti Amerika, Tiongkok, dan India, mulai beralih ke konsep cloud kitchen. Pada intinya, cloud kitchen atau dapur satelit adalah sebuah dapur kolektif yang terdiri atas berbagai macam restoran atau brand. Konsep dapur ini hanya menawarkan jasa antar dan tidak menyediakan fasilitas makan di tempat.
Sebuah riset dari Goldstein Market Intelligence menyebutkan bahwa pasar cloud kitchen secara global akan mencapai $2,63 miliar pada 2026. Potensi pertumbuhan paling besar terjadi di negara-negara yang memiliki pasar layanan pengantaran makanan yang sedang tumbuh. Di Indonesia, layanan tersebut kini juga tengah gencar-gencarnya dikembangkan oleh beberapa perusahaan teknologi layanan pesan antar makanan.
Dapur satelit sebenarnya bukan konsep usaha restoran yang baru. Konsep cloud kitchen yang populer diterapkan ini pada awalnya muncul di India pada tahun 2003 oleh Rebel Foods bersama Sequoia. Cloud kitchen menawarkan keuntungan lebih banyak daripada restoran biasa, salah satunya adalah minimnya biaya operasional yang dibutuhkan.
“Memulai bisnis dengan konsep cloud kitchen dapat mengurangi biaya-biaya operasional seperti sewa gedung dan gaji pramusaji. Restoran konvensional tentu membutuhkan gedung usaha dengan lokasi yang strategis agar dapat menarik banyak pelanggan, pasti biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit,” terang Head of Commercial GrabFood, Rizkie Maulana, dalam Webinar “Bisnis Model Baru di Industri F&B: Cloud Kitchen” yang diselenggarakan oleh Nimbly x HelloBill pada 26 Agustus 2020 lalu.
Dengan adanya cloud kitchen, lanjut Rizkie, hanya perlu mengeluarkan biaya untuk membeli bahan baku dan menyewa dapur. Restoran juga tidak perlu mempekerjakan karyawan tambahan untuk membantu menyajikan makanan maupun operasional lain, yang diperlukan hanyalah koki dan beberapa karyawan yang akan membantu koki dalam memasak.
Karena minimnya biaya operasional, konsep cloud kitchen ini juga membuka lebar kesempatan untuk bereksperimen dengan produk yang dijual. Modal yang minimal membuka peluang bagi pemilik usaha untuk lebih fleksibel dalam menjual sesuatu yang inovatif. Dengan risiko yang lebih kecil, pemilik usaha dapat mengutamakan fokus terhadap kualitas dan higienitas makanan yang dijual.
Konsep ini, jika dilihat dari segi pengelola layanan pesan antar, akan efektif untuk meningkatkan pengalaman pengguna karena dapat memesan makanan yang diinginkan dari dapur bersama terdekat. “Sementara bagi bisnis makanan, konsep dapur bersama bisa memudahkan untuk hadir di lebih banyak tempat daripada membuka cabang baru yang memakan banyak biaya,” tambah Rizkie.
Kendati demikian, cloud kitchen juga memiliki beberapa kelemahan di antaranya masalah kualitas dan cita rasa makanan, higiene dan kebersihan, hingga masalah teknologi. Founder & Owner By Anind, Anindita Putri, menjelaskan bahwa permasalahan-permasalahan tersebut dapat teratasi apabila perusahaan memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang diterapkan dengan baik.
“Di lokasi cloud kitchen harus menerapkan SOP dari awal mempersiapkan bahan baku, proses memasak, hingga menjaga kebersihan dapur, yang telah dibuat oleh perusahaan untuk menjamin mutu produk tetap baik. Selain itu, tenaga koki yang dipekerjakan harus mampu mempertahankan kualitas dan cita rasa makanan yang dihasilkan,” pungkas Anindita. KI-37