Di industri pangan, terdapat beberapa metode memasak yang umum digunakan. Beberapa diantarnya adalah dengan 1) memaparkan secara langsung bahan pangan ke sumber panas (roasting), 2) memasak bahan pangan melelui udara panas (oven baking), 3) memanaskan di dalam air (boiling), dan 4) memanaskan melalui media lemak/minyak (frying). Keempat metode tersebut memiliki prinsip pemasakan yang agak berbeda, sehingga karakter produk yang dihasilkannya pun akan berbeda.
Salah satu perbedaan mendasar dalam menggoreng (frying) adalah media panasnya yang menggunakan minyak/lemak. Dibandingkan dengan udara, media lemak/minyak dapat menghantakan panas lebih efektif. Begitupun bila dibandingkan dengan perebusan, lemak/minyak mampu memberikan suhu yang lebih tinggi dibandingkan air. Oleh sebab itu, memasak dengan penggorengan umumnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode lainnya. Setiap produk pangan, biasanya memiliki suhu optimal tertentu guna mendapatkan kondisi pemasakan yang ideal. Kurt G. Berger (2005) mengungkapkan suhu yang sering digunakan dalam menggoreng beberapa produk pangan (Tabel 1).
Penggorengan juga berkontribusi lebih nyata dalam pembentukan flavor. Selain berasal dari produk, flavor juga terbentuk dari minyak/lemak yang dipanaskan, serta reaksi yang terjadi antara komponen-komponen tersebut –misalnya antara pati dan protein dalam reaksi Maillard.
Dari segi tekstur dan eating quality, penggorengan juga mampu meningkatkan kerenyahan. Hal ini terutama terjadi, karena air yang berada di dalam produk tergantikan oleh minyak. Sehingga kadar air produk menjadi rendah.
Tabel 1. Suhu penggorengan yang umum digunakan
Bahan Pangan | Suhu (oC) |
Kentang –french fries; blanching | 165 |
Kentang – french fries; finishing | 185 |
Keripik kentang | 170-175 |
Donat | 185 |
Ayam ukuran besar | 165 |
Ayam ukuran sedang | 175 |
Irisan daging | 165-170 |
Mi instan | 130 |
Extruded pellets untuk pengembangan | 185-205 |
(Sumber: Berger, 2005)
Pada suhu penggorengan tersebut, terjadi berbagai macam reaksi kimia yang kompleks. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi karakter mutu produk akhir. Reaksi yang terjadi dapat meliputi pembentukan komponen flavor, gelatinisasi pati, dan juga perubahan yang berkaitan dengan minyak/lemak. Jika tidak terkontrol, reaksi yang terjadi justru dapat menurunkan mutu produk goreng. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memahami secara tepat karakter produk yang digoreng, sehinggu suhu dan waktu dapat diatur sesuai kebutuhan.
Menurut Berger (2005), terdapat tiga metode umum penggorengan, yakni shallow pan frying, batch deep frying, dan continuous deep frying.
Shallow pan frying
Merupakan metode menggoreng yang paling sederhana. Sejumlah minyak dipanaskan di atas wajan, dan bahan yang akan digoreng ditambahkan setelah telah mencapai kecukupan panas. Biasanya banyak dipraktekkan untuk skala rumah tangga.
Salah satu kesulitan utama dalam metode ini adalah menentukan suhu yang tepat. Sehingga, kecukupan metode panas untuk shallow pan frying hanya ditentukan berdasarkan pengalaman. Misalnya, proses penggorengan diawali ketika minyak mulai mengeluarkan asap, atau membalik produk ketika perubahan warna sudah dirasa cukup.
Batch deep frying
Deep frying merupakan metode menggoreng, dimana produk tercelup seluruhnya di dalam minyak goreng. Suhu disetiap sama diusahakan sama, sehingga diperoleh tingkat kematangan yang sama. Untuk tipe batch deep frying, peralatan yang digunakan biasanya terbuat dari wadah stainless steel. Umumnya wadah tersebut mampu menampung 5-20 kg minyak. Selain itu dilengkapi pula keranjang untuk menampung produk yang akan digoreng.
Continous deep frying
Merupakan metode deep frying yang lebih canggih dan digunakan untuk produksi yang bersifat massal, seperti industri snack dan mi instan. Dalam continous deep frying, wadah penggorengan telah tersusun bersama dengan peralatan lain dalam suatu sistem conveyor. Produk yang digoreng akan melewati mesin penggoreng sesuai dengan pengaturan waktu dan suhu yang telah ditetapkan. Bahkan dalam sistem ini, turnover minyak pun dilakukan secara kontinyu. Hendry Noer F.