Oleh Soenar Soekopitojo
Istilah katering juga populer dengan sebutan jasa boga. Menurut Kepmenkes RI No. 715/Menkes/SK/V/2003, jasa boga didefinisikan sebagai perusahaan atau perorangan yang melakukan kegiatan pengelolaan makanan yang disajikan di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Kegiatan pengelolaan tersebut meliputi penerimaan bahan mentah atau makanan terolah, pembuatan, pengubahan bentuk, pengemasan dan pewadahan. Hal inilah yang menjadi ciri khas industri jasa boga, yaitu bahwa makanan yang disajikan tidak dimasak di tempat yang sama dengan tempat makanan dihidangkan, tidak seperti di restoran yang pesanan Anda bisa dimasak ala minute.
Ada yang membedakan usaha katering menjadi 2 macam, yaitu inside catering (apabila pelayanan pemesanan makanan dan minuman dilakukan di tempat makanan itu diolah, misalnya restoran, hotel, motel, kereta api dan sebagainya), dan outside catering apabila pelayanan pemesanan makanan dan minuman dibawa keluar dari tempat makanan dan minuman itu diolah ke tempat si pemesan, misalnya pelayanan rantangan, resepsi pernikahan, arisan, pesta ulang tahun, halal bihalal dan sebagainya.
Tantangan industri ini adalah bagaimana menjaga dan mempertahankan kualitas makanan yang disajikan, tetap enak dan tetap aman dikonsumsi, padahal makanan tersebut sudah dimasak sejak beberapa jam yang lalu, di tempat lain, bukan di lokasi acara. Pada dasarnya, makanan yang diproduksi oleh industri katering berisiko tinggi untuk dapat menyebabkan penyakit atau menimbulkan keracunan bagi konsumen, mengingat penanganan pangan dalam industri jasaboga meliputi kegiatan yang sangat kompleks, mulai dari persiapan, produksi sampai pengiriman (distribusi) pangan. Apabila dijabarkan lebih lanjut kegiatan tersebut meliputi aktivitas thawing, penyiangan (trimming), pemotongan (cutting, mincing, slicing), pencampuran (mixing), pengocokan (whipping), pemorsian (portioning), penimbangan, pembuatan garnish, ekstraksi, pengolahan, pemasakan, prapenyajian, penyajian, pengemasan, penyimpanan, display dan pengiriman atau distribusi. Makanya tak heran jika kasus-kasus keracunan pangan juga sering terdengar menimpa orang-orang yang mengonsumsi pasokan makanan dari katering. Bahkan industri jasaboga berada di urutan kedua setelah industri rumah tangga (IRT) dalam memberikan andil terhadap masalah keracunan pangan (BPOM-Depkes RI, 2008). Oleh karena itu, keamanan pangan di jasa katering harus mendapat perhatian serius, terutama dalam penanganan perishable foods, yaitu pangan yang bersifat mudah rusak, busuk atau berjamur.
Berdasarkan luas jangkauan pelayanan dan kemungkinan besarnya risiko yang dilayani, industri jasaboga dikelompokkan dalam golongan A, golongan B dan golongan C. Jasa boga golongan A, yaitu jasa boga yang melayani masyarakat umum, yang terdiri atas golongan A1, A2 dan A3. Golongan A1, A2 dan A3 dibedakan berdasarkan penggunaan dapur dan tenaga kerja. Jasa boga golongan B, yaitu jasa boga yang melayani kebutuhan khusus untuk asrama penampungan jemaah haji, asrama transito atau asrama lainnya, perusahaan, pengeboran lepas pantai, angkutan umum dalam negeri serta sarana pelayanan kesehatan. Sedangkan jasaboga golongan C, yaitu jasa boga yang melayani kebutuhan untuk angkutan umum internasional dan pesawat udara.
Penanganan
perishable foods
Bagi industri jasaboga, menjaga makanan yang diproduksi tetap aman dan tidak membahayakan kesehatan konsumen merupakan suatu keharusan, mengingat makanan merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme. Gangguan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung, dapat terjadi setelah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan, kemudian berkembang biak dan menimbulkan penyakit, atau akibat adanya racun (toksin) yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut. Kasus-kasus penyakit dan keracunan yang berkaitan dengan pangan (foodborne illness), khususnya dari makanan yang dipasok oleh industri jasaboga, mayoritas terjadi karena penanganan (handling) pangan yang kurang baik, sehingga memungkinkan tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme (bakteri) yang berbahaya dalam pangan (foodborne pathogen). Oleh karena itu, penanganan pangan yang baik, aman dan hati-hati sejak bahan pangan diterima sampai makanan siap dikonsumsi (ready to eat) merupakan langkah strategis untuk mencegah atau mengurangi risiko foodborne illness.
Pengetahuan tentang karakteristik pangan dalam kaitannya dengan pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya dalam pangan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan penanganan pangan dengan baik. Salah satunya adalah pengetahuan tentang klasifikasi pangan berdasarkan stabilitasnya selama penyimpanan yang biasanya dibedakan menjadi:
- Non perishable foods, yaitu bahan pangan yang tidak memerlukan kontrol suhu dan relatif stabil selama penyimpanan dalam jangka waktu lama. Contohnya adalah makanan kaleng yang masih tertutup, bumbu dan rempah-rempah, tepung, makanan kering dan sebagainya.
- Perishable foods diartikan sebagai pangan yang dijual atau didistribusikan dalam bentuk yang mudah mengalami kerusakan, kebusukan atau berjamur dalam jangka waktu yang relatif singkat. Termasuk di dalamnya adalah perishable foods yang potensial berbahaya dan yang tidak berbahaya bagi kesehatan manusia. Sementara itu, ada juga yang mengelompokkan perishable foods yang tidak berbahaya bagi kesehatan sebagai semi perishable foods, contohnya adalah olahan serealia (semolina, cracked wheat, rice flakes), produk kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang, ubi jalar), lemak dan minyak dan sebagainya.
Perishable foods yang potensial berbahaya bagi kesehatan manusia memerlukan kontrol suhu, karena kondisinya (kadar air, pH, protein, garam dan sebagainya) memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme penyebab infeksi dan penghasil toksin. Perishable foods tersebut mencakup pangan yang mengandung daging, unggas, ikan, produk-produk susu dan telor, sayur-sayuran atau bahan nabati yang sudah dimasak, buah-buahan yang sudah dikupas dan sebagainya. Sebagian besar foodborne pathogen lebih menyukai lingkungan yang hangat, walaupun dapat tumbuh pada range suhu yang luas. Suhu di atas 40C (40oF) dan di bawah 600C (1400F) sering diacu sebagai zona berbahaya (danger zone) karena bakteri patogen seperti E. coli O157:H7, Salmonella dan Listeria monocytogenes dapat berkembang biak pada suhu tersebut sehingga menyebabkan penyakit. Refrigerasi yang tepat pada suhu 4oC (40oF) atau dibawahnya dan memanaskan pada 60oC (140oF) atau diatasnya terhadap perishable foods adalah strategi yang direkomendasikan untuk menghindari penyakit yang ditularkan melalui pangan. Sementara itu, pada suhu pertumbuhan optimal (4oC – 60oC), waktu yang dibutuhkan foodborne pathogen untuk mencapai level yang tidak aman sampai menimbulkan penyakit sangat bervariasi tergantung jenis makanannya. Batasan waktu selama dua jam atau kurang untuk perishable foods berada pada zona berbahaya (danger zone), dapat mengurangi kemungkinan tumbuhnya bakteri berbahaya mencapai level yang dapat menyebabkan penyakit.
Menghindari keracunan
Oleh karena itu, penanganan perishable foods sejak mulai belanja harus mengikuti pedoman penanganan dan penyimpanan pangan yang baik, seperti:
- Saat berbelanja ke pasar atau supermarket, belilah daging, unggas atau ikan segar pada saat akhir belanja, dalam jumlah secukupnya. Selanjutnya, apabila tidak segera digunakan, maka perishable foods tersebut harus segera dibekukan dan dibungkus dengan aluminium foil berlapis atau kemasan tebal lainnya agar terlindung dari udara. Untuk steaks, roasts, deli meats yang direfrigerasi harus sudah digunakan dalam 3-4 hari, sedangkan daging, unggas dan ikan yang belum diolah harus sudah digunakan dalam 1-2 hari. Perlu diingat, bahwa suhu refrigerator harus selalu dicek agar terjaga ketepatannya (di bawah 40C) dan perishable foods tersebut harus diletakkan pada bagian paling bawah dari refrigerator agar tidak menetes ke bahan pangan lain. Sementara itu, apabila melakukan thawing terhadap perishable foods tersebut, jangan dilakukan di meja dapur, tetapi dilakukan dalam refrigerator dengan menggunakan air dingin yang diganti setiap 30 menit atau di dalam microwave oven. Thawing dalam refrigerator harus dilakukan pada bagian paling bawah dari refrigerator untuk menghindari kontaminasi silang. Setelah thawing, perishable foods tersebut harus segera dimasak. Perlu diingat, bahwa bahan pangan harus dipisah menurut jenisnya, termasuk perishable foods yang harus dikemas secara terpisah untuk menghindari kontaminasi silang dengan bahan pangan lain. Penanganan perishable foods untuk persiapan memasak juga harus hati- hati, misalnya untuk daging, unggas dan ikan mentah beserta cairannya harus dijauhkan dari bahan pangan lain, termasuk kemungkinan kontak melalui pisau atau talenan (cutting board). Jika memungkinkan dapat digunakan talenan yang berbeda untuk bahan pangan nabati dan hewani. Untuk daging, unggas dan ikan yang memerlukan proses marinating (perendaman dalam bumbu- bumbu) sebaiknya digunakan wadah non metal dan dilakukan dalam refrigerator, bukan di meja dapur. Hindarkan pemasakan terpisah antara unggas dengan bumbu yang akan diisikan dalam pembuatan stuffing poultry (unggas isi), karena pemasakan yang tidak sempurna dapat merupakan suhu inkubasi untuk tumbuhnya Salmonella dan Campylobacter. Sementara itu, untuk buah melon yang sudah dipotong misalnya, harus segera disimpan pada suhu refrigerator.
- Dalam proses memasakpun banyak hal yang harus diperhatikan dalam penanganan perishable foods. Makanan harus dimasak sampai suhu internal minimum 710C untuk menghancurkan bakteri yang ditularkan melalui pangan. Untuk pemasakan telur harus betul-betul padat bagian kuning dan putihnya, sedangkan untuk daging roasts (dipanggang dalam oven) dan steaks (dimasak di atas plat panas/ griddle) harus sampai benar-benar berwarna coklat gelap permukaannya (suhu oven/pemanas 325oF atau lebih), kecuali untuk pesanan khusus seperti steak rare medium (dipanaskan sampai 145oF) yang berwarna pink muda. Demikian juga dalam penggunaan kuas (brush) untuk melapisi permukaan grilled meats (daging yang dimatangkan dengan alat grill) dengan saus misalnya, jangan sampai menggunakan kuas yang telah digunakan untuk daging mentah. Selain hal-hal tersebut, masih banyak tindakan- tindakan teknis lainnya yang harus diketahui dan dipraktekkan oleh setiap orang yang berkecimpung dalam industri jasaboga dalam penanganan perishable foods agar makanan yang diproduksinya aman untuk dikonsumsi.
- Dalam hal distribusi, perishable foods harus didistribusikan pada suhu yang tepat untuk menjamin bahwa makanan tersebut aman untuk dikonsumsi. Pengepakan di dalam es atau dalam kendaraan yang dilengkapi refrigerator akan membantu mempertahankan suhu tersebut. Jika memungkinkan, makanan selalu didisplay dalam keadaan dingin pada suhu refrigerator 40C atau di bawahnya. bakteri tidak rusak oleh suhu refrigerator dan beberapa di antaranya bahkan mampu bertahan pada suhu refrigerator, tetapi sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh atau tumbuh dengan laju yang rendah pada suhu refrigerator. Untuk makanan yang disajikan panas juga harus tetap dipertahankan dalam keadaan panas pada suhu 60oC atau diatasnya (dipanaskan kembali sampai beruap), sedangkan untuk makanan beku dapat disimpan pada suhu di bawah -18oC.
- Untuk menjamin bahwa makanan yang didisplay tidak terkontaminasi dapat dilakukan dengan menggunakan kemasan rapat, penutup makanan atau suatu kotak display. Makanan biasanya aman berada pada suhu ruang (20-25oC) selama 2 jam, atau apabila diakumulasikan dari persiapan sampai distribusi maksimum 3-4 jam dan makanan tersebut harus segera dihabiskan dalam jangka waktu tersebut. Makanan yang tidak habis dimakan sebaiknya tidak direfrigerasi ulang jika berada pada zona berbahaya lebih dari 2 jam serta tidak boleh disajikan dalam event yang lain. Oleh karena itu, industri jasaboga harus mampu merencanakan menu dengan baik dan mempersiapkan makanan dalam jumlah secukupnya. Selain itu, praktek-praktek hygiene sanitasi yang baik, penanganan pangan yang baik, khususnya untuk perishable foods serta didukung dengan penerapan HACCP dalam industri jasaboga, akan menjamin makanan yang diproduksi oleh industri jasaboga tersebut aman untuk dikonsumsi.
Soenar Soekapitojo, Staf Pengajar Universitas Negeri Malang dan Peneliti SEAFAST Center IPB Bogor.