Oleh RH Fitri Faradilla, STP
Dewasa ini kesadaran masyarakat terhadap pangan yang memiliki manfaat khusus untuk kesehatan semakin meningkat. Pangan ini biasa disebut sebagai pangan fungsional. Mengonsumsi pangan fungsional sudah seperti gaya hidup dan memiliki prestise tersendiri. Salah satu jenis pangan fungsional adalah minuman probiotik atau biasa disebut yogurt.
Tren konsumsi yogurt juga meningkat seiring bertambahnya kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi pangan yang menyehatkan. Menurut Global Industry Analysis (2008), market value produk probiotik di Eropa Utara naik dari €824.2 juta pada tahun 2000 dan perkiraan pada tahun 2010 adalah sebesar €2.104 milyar. Menurut sumber lain, market value yogurt dan dessert mencapai lebih dari €900 juta pada tahun 2005 dan diperkirakan akan meningkat hingga lebih dari €1.3 milyar pada 2010 (RTS Resource Ltd 2006).
Yogurt sebagai pangan fungsional sebagian besar diproduksi dari susu. Walau yogurt dapat dibuat dari susu apapun, akan tetapi pada saat ini yogurt didominasi oleh susu sapi. Padahal lebih dari 75% kebutuhan susu sapi Indonesia harus dipenuhi melalui impor. Menurut data Agricultural Statistic (2005), Indonesia membutuhkan sekitar dua juta liter susu setiap tahunnya sementara lebih dari 1.4 juta liter susu diimpor dari berbagai negara. Penggantian maupun subtitusi bahan baku yogurt sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia. Hal ini tidak lain untuk mendapatkan produk probiotik yang baik untuk kesehatan sekaligus mengurangi kebutuhan impor susu sapi. Salah satu produk probiotik yang dibuat dari bahan baku bukan susu sapi adalah cocogurt.
Cocogurt merupakan produk probiotik yang dibuat dari santan kelapa. Produk ini telah dibuat dan diuji sifat fisik, kimia, dan mikrobiologi, serta kemampuannya dalam menghambat bakteri patogen oleh Ertanto et al (2008) dan Ekafitri et al (2009). Kelapa dipilih tidak hanya karena bentuk dan warnanya yang mirip susu, tetapi juga karena ketersediaan dan potensi kesehatan yang terdapat pada santan kelapa. Indonesia memiliki area penanaman kelapa terluas di dunia, yakni sebesar 3.8 juta hektar dan menghasilkan 3.3 juta ton kelapa setara kopra (Setiadi 2006).
Dari segi gizi, daging kelapa mengandung tujuh asam amino esensial. Asam amino tersebut terdiri dari lisin (5.8%), metionin (1.43%), fenilalanin (2.05%), valin (3.57%), leusin (5.96%), histidin (2.42%), dan arginin (15.92%) (Ketaren 1986). Asam lemak pada daging kelapa terdiri atas asam laurat (44%), asam miristat (18%), palmitat (11%), asam oleat (7%), dan asam linoleat (2%) (Buckle et al. 1988). Asam laurat menjadi asam lemak terbesar yang terdapat pada kelapa. Asam laurat merupakan asam lemak dengan jumlah karbon 12 dan termasuk asam lemak rantai sedang (jumlah rantai kabon antara 8-12). Asam lemak ini diketahui memiliki sifat anti virus dan anti bakteri. Jika dibandingkan dengan asam lemak jenuh rantai panjang, asam laurat relatif tidak meningkatkan kadar kolesterol darah.
Asam laurat memiliki kemampuan untuk melindungi bayi terhadap virus seperti herpes dan HIV, terhadap protozoa seperti giardia lambdia, dan bakteri seperti klamidia dan heliobakter (Young 2006). Sebuah penelitian pada tahun 1998 dalam American Journal of Clinical Nutrition menunjukkan bahwa ibu menyusui yang mengonsumsi minyak kelapa dan produk kelapa lainnya, mengalami kenaikan jumlah asam laurat dan kaprat dalam air susunya. Dengan demikian, maka bayi akan mendapat asupan asam laurat lebih besar yang dapat meningkatkan kekebalan tubuh terhadap bakteri.
Ketersediaan kelapa yang tinggi di Indonesia dan potensi kesehatan yang baik pada santan kelapa, membuat cocogurt menjadi pangan fungsional yang potensial. Cocogurt yang dibuat oleh Ertanto et al (2008) merupakan yogurt dengan bahan baku santan yang difermentasi dengan bakteri Lactobasillus casei. Proses pembuatan cocogurt hampir sama dengan pembuatan yogurt lainnya. Terdiri atas proses homogenisasi, pasteurisasi, inokulasi bakteri asam laktat, dan inkubasi. Kandungan gizi cocogurt disajikan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa cocogurt mengandung lemak sebesar 9.09%. Lebih lanjut cocogurt dianalisis dengan menggunakan gas chromatography (GC) dan diketahui bahwa cocogurt mengandung asam lemak jenuh sebesar 8.203 gram/100 gram dan asam lemak tidak jenuh sebesar 0.862 gram/100 gram. Kandungan asam lemak terbesar yaitu asam lemak laurat yaitu sebesar 3.885 gram/100 gram atau sebesar 42.74% dari total asam lemak. Asam lemak rantai sedang lainnya yang terkandung di cocogurt yaitu asam kaprat (C10) sebesar 7% dan asam kaprilat (C8) sebesar 11%. Dari hasil GC tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun cocogurt mengandung sekitar 90% asam lemak jenuh, namun asam lemak tersebut didominasi oleh golongan asam lemak rantai menengah terutama laurat. Fungsi kesehatan laurat telah diuraikan sebelumnya. Asam kaprat dan asam kaprilat meskipun jenuh namun tidak meningkatkan kadar kolesterol darah. Asam lemak tersebut justru dapat menurunkan risiko terjadinya penyumbatan pembuluh darah oleh kolesterol yang teroksidasi. Selain itu, asam lemak jenis ini dapat langsung dimanfaatkan oleh tubuh sebagai sumber energi. Hal ini dikarenakan asam lemak jenis ini tidak perlu diikat dengan kilomikron sebagaimana lemak jenis lain sehingga lebih efisien dalam pembakarannya.
Sebagai sebuah produk probiotik, jumlah bakteri asam laktat yang hidup pada produk tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting. Menurut Tannock (1999), suatu produk dapat dikatakan produk probiotik jika mengandung bakteri asam laktat hidup setidaknya sebesar satu juta bakteri. Cocogurt segar mengandung bakteri asam laktat hidup sekitar satu milyar. Selama penyimpanan terjadi penurunan jumlah bakteri asam laktat hidup. Walau demikian, jumlah bakteri asam laktat hidup masih memenuhi standar. Selama sepuluh hari pengamatan, Ertanto et al. (2008) menemukan bahwa cocogurt yang disimpan di dalam refrigerator selama sepuluh hari masih mengandung bakteri asam laktat hidup sebesar seratus juta bakteri.
Selama penyimpanan Ertanto et al. (2008) juga mengamati kerusakan cocogurt akibat kapang. Kapang merupakan indikator kerusakan produk probiotik pada umumnya karena kapang relatif tahan terhadap suasana asam (dengan kisaran pH pertumbuhan yang luas yaitu 2.5 sampai 8.5) dan senang hidup pada produk dengan kadar gula tinggi. Jika produk yogurt sampai ditumbuhi kapang, kemungkinan berasal dari peralatan atau wadah yang tidak steril. Selama sepuluh hari penyimpanan cocogurt di refrigerator, tidak ditemukan adanya kapang yang tumbuh pada produk ini.
Kelebihan cocogurt lainnya dibuktikan oleh Ekafitri et al (2009). Dari penelitian tersebut diketahui bahwa cocogurt mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen secara in vitro. Bakteri patogen tersebut yaitu Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella typhimurium. Penghambatan terhadap bakteri patogen tersebut mencapai 29-43% tergantung dari jenis bakteri patogen. Bakteri Escherichia coli mampu dihambat pertumbuhannya sebesar 29.66%. Escherichia coli merupakan bakteri indikator tingkat sanitasi makanan. Bakteri ini juga sering menyerang masyarakat Indonesia dan menyebabkan diare. Bakteri Salmonella typhimurium yang merupakan bakteri penyebab penyakit tipus mampu dihambat oleh cocogurt sebesar 38.54%. Penghambatan terbesar adalah pada bakteri Staphylococcus aureus yaitu sebesar 43.36%. Kemampuan cocogurt dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen diduga kuat akibat adanya interaksi yang sinergis antara bakteri asam laktat dan asam lemak laurat yang terkandung di cocogurt. Bakteri asam laktat mampu mengubah gula-gula yang terdapat pada lingkungannya menjadi asam laktat. Asam laktat menyebabkan penurunan pH lingkungan. Bakteri patogen diketahui tidak tahan hidup di suasana asam. Selain itu asam laktat itu sendiri juga diketahui memiliki kemampuan toksik bagi bakteri patogen. Asam lemak laurat, dari berbagai sumber yang didapat, memiliki kemampuan bakterisidal terhadap beberapa bakeri patogen seperti Staphylococcus aureus, Chlamidia trachomatis, Candida albicans, Enterococcus faecalis, Heliobacter pylori, dan bakteri gram positif lainnya.
Ekafitri et al (2009) juga telah melakukan uji sensori terhadap cocogurt. Uji tersebut dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih. Skala yang digunakan merupakan skala garis sepanjang 15 cm. Semakin mendekati angka 15, semakin tinggi kesukaan panelis terhadap produk yang diuji. Berdasarkan hasil uji sensori tersebut, diketahui bahwa secara overall panelis menyukai cocogurt yang berumur satu hari dengan skala 10. Kelemahan cocogurt yang ditemukan oleh Ertanto et al (2008) secara sensori adalah timbulnya ketengikan pada cocogurt yang telah disimpan sepuluh hari. Ketengikan ini menjadi faktor pembatas pada cocogurt. Selama sepuluh hari penyimpanan secara mikrobiologi produk ini masih dapat diterima. Namun adanya tengik menyebabkan asosiasi konsumen terhadap produk menjadi jelek.
Kemampuan cocogurt dalam meningkatkan status kesehatan saluran pencernaan dan menurunkan kolesterol belum dibuktikan. Jika kedua hal ini dapat dibuktikan dan cocogurt memang memiliki sifat fungsional yang tidak kalah dengan yogurt dari susu sapi, bukan tidak mungkin di masa depan nanti santan kelapa tidak hanya berakhir sebagai gulai di dapur. Tapi juga dapat menjadi suatu produk pangan fungsional yang lebih bernilai.
RH Fitri Faradilla, STP Asisten Peneliti Lab. Bioteknologi SEAFAST CENTER IPB