Food Ideas Tapak Boga

Di balik Nama Laksa: Jejak Awal Cita Rasa Legendaris

Oleh Abdullah Muzi Marpaung Food Technology Department, Swiss German University, Indonesia

Laksa saat ini dikenal sebagai sejenis hidangan berkuah khas Indonesia, Malaysia, dan Singapura dengan banyak varian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) laksa dijelaskan sebagai masakan berkuah mengandung rempah, biasanya berisi sohun, daging, ikan, sayuran, dan sebagainya. Akan tetapi, dokumen-dokumen lama menunjukkan bahwa semula laksa bukanlah nama masakan.

Pada dua kamus Melayu-Inggris paling awal (Marsden 1812 dan Crawfurd 1852) dijumpai lema laksa sebagai kata ‘bilangan’ yang setara dengan ‘puluh ribu’. Kedua kamus ini mengindikasikan bahwa pada awalnya laksa dalam bahasa Melayu tidak ada kaitan dengan pangan. Tak lama sesudah kamus Crawfurd, terbit kamus Belanda-Melayu (Eysinga 1855) yang mencantumkan arti lain dari laksa yaitu vermicellie (produk pasta berbasis tepung) dengan sinonimnya bami dan so-on. Kamus Sunda-Inggris (Rigg 1862) juga memuat keterangan serupa: vermicelli, rice paste made into long stringy slips. Tampaknya di pertengahan abad ke-19 inilah laksa juga dikenal sebagai sejenis bahan makanan (ingridien). Meskipun demikian, beberapa kamus yang lebih muda masih mencantumkan laksa dengan satu makna saja (Pijnappel 1863; Grashuis 1898; Jansz 1906; Akkerman 1910).

Sebagai nama bahan makanan, tidak terdapat perbedaan makna laksa antara satu kamus dengan kamus lain. Semuanya sejalan dengan Eysinga dan Rigg. Secara umum laksa digambarkan sebagai sejenis makaroni yang mirip dengan vermiseli atau bahkan sebagai sinonim dari vermisel, yaitu produk pasta berbasis tepung (Pijnappel 1875; Halkema 1881; Klinkert 1902; Van der Burg 1904; Badings 1913; Visser 1913; Ochse 1931; Lameijn 1938). Deskripsi ini tidak berubah pada kamus-kamus yang terbit setelah Indonesia merdeka (Poerwadarminta 1954; Echols 1963; van Goor 1966).

Laksa banyak disertakan dalam buku-buku resep yang terbit pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke- 20. Semuanya menyebut laksa sebagai sejenis bahan atau ingridien dari aneka masakan seperti soto ayam (Keijner 1930; De Bond 1934), pastel (Cornelia 1864; Van Dorp 1870; Keijner 1930), kimlo (Cornelia 1864; Djawa Kokkie 1902), perkedel, sayur tumis, kari daging dan kari jawa (Keijner 1930). Beberapa masakan yang menggunakan laksa sebagai bahan utama diberi nama laksa seperti laksa goreng (Cornelia 1864), kari laksa (Van Dorp 1870; Hoffman-Cosijn 1909; Schoppel 1938; Meijden 1942); ayam laksa (Djawa Kokkie 1902; Patti 1907; Hoffman-Cosijn 1909; Meijden 1942) dan kelan laksa (Rekso Negoro 1936). Terdapat pula nama masakan yang menyertakan kata laksa yang digandengkan dengan nama daerah atau wilayah, seperti laksa ‘Cina, Portugis, Bali’ (Cornelia 1864) dan laksa ‘palembang’ (Van Dorp 1870). Paparan ini menunjukkan bahwa kedudukan laksa sama dengan mi dan nasi yang dapat menjadi bahan utama dari aneka masakan seperti mi ayam, mi goreng, mi siram, mi kocok bandung, nasi goreng, nasi lemak, nasi dagang, nasi ulam, dan lain-lain.

Tidak mudah untuk memastikan sejak kapan laksa bergeser dari ingridien menjadi nama hidangan. Jejak awalnya sudah terlihat pada sebuah buku (Anonim 1930) yang memuat resep laksa. Berdasarkan resep tersebut dapat dideskripsikan bahwa laksa ialah hidangan berkuah dari bihun, ayam suwir, telur rebus, dan udang, disajikan dengan kuah santan berbumbu rempah, serta dilengkapi daun kemangi atau seledri dan bawang goreng. Kemudian pada Indische Groenten (Ochse 1931) disebutkan bahwa laksa ialah masakan, terdiri atas sejenis bihun yang dibuat dari tepung beras, diwarnai kuning dengan kari, dan dicampur dengan cabai, garam, dan daun kemangi. Sekalipun demikian, definisi laksa sebagai ingridien masih dominan di banyak pustaka lain. Laksa (masakan) tampaknya benarbenar menggeser kedudukan laksa (ingridien) pada masa tahun 70-an. Hal ini mungkin terjadi karena tidak ada kepentingan untuk mempertahankan laksa sebagai nama ingridien, sebab ia dapat digantikan oleh bihun, sohun, bahkan vermiseli yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga sampailah kita ke masa sekarang yang menempatkan laksa sebagai aneka hidangan berkuah yang salah satu bahan utamanya adalah bihun. Akan tetapi berbeda halnya dengan negara tetangga kita Malaysia. Dalam bahasa Melayu Malaysia laksa ingridien dan laksa masakan sama-sama mendapatkan tempat. Laksa diartikan sebagai adunan tepung beras yang bentuknya seperti mi tetapi berwarna putih dan sejenis masakan yang menggunakan laksa.

Akankah bahasa Indonesia kelak akan mengikuti bahasa Melayu Malaysia dengan menyertakan lema laksa sebagai ingridien? Tantangan yang segera dihadapi dunia pangan adalah melakukan diferensiasi karakteristik antara bihun, sohun, vermiseli, laksa, dan kwetiau.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *