Konsep

Budaya Kopi Indonesia

Budaya minum kopi sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Terbukti dengan saat ini Indonesia masih termasuk ke dalam penghasil kopi terbesar bersanding Brasil dan Kolombia. Kedai kopi di Indonesia pun sangat beragam, mulai dari warung sampai dengan coffee shop. Kopi diperkenalkan di Indonesia melalui negara Sri Lanka. Saat itu, pemerintah Belanda sering menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabmi dan Bogor. Kopi juga ditanam di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi. Sehingga, hingga saat ini kopi sangat mudah ditemui di berbagai wilayah di Indonesia. Di Yogyakarta, selain minuman malam teh panas legi kentel (nasgitel) yang terkenal, terdapat pula sajian minuman yang dihidangkan dengan cara yang cukup unik. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan kopi joss. Kopi joss terbuat dari campuran kopi tubruk yang kental dan panas dengan tambahan arang. Arang yang digunakan bukan arang sembarangan. Arang yang digunakan merupakan arang yang masih membara dan diambil langsung dari tungku pembakaran dan dimasukkan ke dalam gelas kopi. Saat itulah bunyi ‘joss’ hasil dari arang panas yang dicelupkan ke dalam kopi berbunyi. Sama halnya seperti nasgitel, kopi joss juga biasa dinikmati dengan jajanan ringan seperti kacang rebus, pisang goreng, dan aneka kudapan lainnya.

Selain kopi joss, Indonesia memiliki kopi dengan ciri khas tersendiri di beberapa daerah yang lain. Salah satunya adalah Manado. Menariknya, masyarakat Manado dapat keluar masuk di kedai kopi hingga lebih dari dua kali dalam sehari. Bahkan di kota ini, terdapat satu ruas jalan yang dipenuhi dengan kedai kopi yang terkenal dengan jalan roda. Konon, budaya minum kopi ini dimulai sekitar 70 tahun lalu, ketika seorang Hainan turun di Manado pertama kalinya dan membuka kedai kopi. Selain kopi hitam, di kawasan ini juga populer kopi goraka, yaitu kopi jahe khas Gorontalo. Ada juga beberapa kedai yang khusus menjual kopi kenari dengan biji kenari snagrai dirajang kasar dan ditaburkan di atas kopi panas. Cara ini hamper sama dengan tradisi orang Perancis yang menaburkan kacang pine sangrai di dalam teh panas. Sebagai pendamping kopi, tersedia panada (roti bantal berisi tumisan daging sapi pedas), lalampa (lemper isi tuna), dan lemang. Tidak jauh berbeda dengan Manado, cara menyeduh kopi di Aceh boleh dibilang merupakan adaptasi dari cara menyeduh minuman kopi di Semenanjung Malaya yang dikenal sebagai kopi Hainan.

Kopi  Hainan diseduh dengan cara menggunakan saringan yang memiliki bentuk yang mirip dengan kaos kaki. Lalu, kopi dituangkan secara berpindah-pindah dari satu teko ke teko lainnya. Hasilnya, tentu saja minuman kopi yang sangat pekat, wangi, tapi tidak mengandung bubuk kopi. Penyeduhan kopi dengan menggunakan kaus ini juga merambah ke wilayah Medan, Siantar, Batam, Tanjungpinang, Pekanbaru, Padang, Bukittingi, Jambi, Palembang, Jakarta, Pontianak, hingga Makassar. Di beberapa rumah kopi, di kota-kota tersebut banyak sekali kesamaan untuk cara menyeduh kopi. Untuk memasak airnya, seringkali masih menggunakan tungku yang dipanaskan di atas bara api. Tujuannya untuk mendapatkan cita rasa aroma asap yang lebih terasa pada kopi. Sedangkan untuk jenis kopinya, tergantung pada selera masyarakat setempat. Umumnya, mereka lebih memilih kopi lokal dari daerahnya masing-masing. Contohnya seperti kopi jenis Sumatera Mandailing dan Sumatera Lintong. Dinamakan Mandailing berdasarkan suku Mandailing di Sumatera Utara. Kopi Lintong sendiri dinamakan menurut nama tempat Lintong yang juga berada di Sumatera Utara.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *