Kuliner menjadi industri kreatif yang pertumbuhannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, kuliner memberikan sumbangan terbesar yaitu 41,69% dari total pendapat di sektor industri kreatif yang besarnya Rp. 852 triliun atau 7,38% dari produk domestik bruto (PBD). Beragamnya nilai budaya, kekayaan alam dan suku menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan kuliner yang melimpah, bahkan disebut sebagai dapur gastronomi dunia.
“Pemanfaatan hasil alam lokal dengan budaya dapur setempat yang diwariskan dari generasi ke generasi merupakan kekayaan budaya yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan,” tutur Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Eni Harmayani dalam dalam Bekraf Creative Labs 2017: Culinary Conference & Creative Expo dan Deklarasi Forum Komunikasi Kuliner Indonesia (Forkomkulindo) yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 4 Oktober 2017 lalu. Ia menjelaskan bahwa kuliner Indonesia tercipta dari perpaduan unsur geografis, budaya, kondisi tanah dan lainnya. Misalnya di Sumatera, kulinernya sebagian besar menggunakan santan dari kelapa yang merupakan komoditas yang banyak tumbuh di wilayah tersebut. Adapun di Indonesia bagian timur seperti Nusa Tenggara di mana tanahnya kurang subur namun melimpah akan hasil laut sehingga kuliner berbasis ikan dapat ditemui setiap hari, diolah tanpa bumbu dan mengandalkan kesegaran alami serta dibakar menggunakan tempurung kelapa.
Bekraf Creative Labs 2017, Culinary Conference & Creative Expo
Masyarakat Indonesia juga telah mengenal pengolahan-pengolahan pangan tradisional, misalnya dengan proses fermentasi. Di Sumatera terdapat beberapa makanan hasil fermentasi seperti belacan, tempoyak dan dadih. Di Kalimantan terdapat pakasam, wadi, cincalok, budu yang merupakan hasil fermentasi dari ikan tawar. Di Sulawesi terdapat produk fermentasi susu yaitu dangke, fermentasi umbi-umbian yang disebut kabuto, dan fermentasi ikan yang dikenal dengan sebutan lema. Selain itu, di Jawa dan Bali juga dengan mudah ditemukan produk fermentasi tradisional seperti tape, brem, peuyeum, gatot, sale, terasi, oncom, dan tempe. Adapun komoditas pangan Indonesia yang telah diakui kenikmatan dan manfaatnya adalah rempah dan kopi.
Kedua komoditas tersebut menjadi sektor industri kreatif yang mempunyai peluang cerah untuk terus berkembang. Selain dengan terbukanya peluang usaha warung-warung kopi, usaha jasa boga yang menyajikan kuliner Indonesia juga terus bermunculan, terutama di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan warga negara Indonesia yang merantau.
Dikenalnya cita rasa Indonesia, baik kopi maupun kulinernya juga perlu didukung oleh berbagai pihak antara lain pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, komunitas, media, dan penikmat kuliner untuk maju bersama mempopulerkan industri kreatif dalam negeri, khususnya kuliner ke kancah global.
Aneka rempah dalam semangkung soto
Selain dalam bentuk bahan baku pangan, rempah juga diperdagangkan dalam bentuk rempah olahan misalnya bumbu masak instan; ataupun rempah dalam ingridien pangan, misalnya mi instan dengan berbagai varian cita rasa rempah. Selain rendang yang telah dikenal secara luas sebagai kuliner Indonesia yang disukai secara global, soto juga merupakan representasi kuliner yang memadukan aneka macam rempah.
“Terdapat 45 macam bumbu dari berbagai jenis rempah yang ada di Indonesia. Lima bumbu yang paling banyak digunakan adalah bawang putih, bawang merah, merica, kunyit, jahe, dan serai,” ungkap Peneliti dan Pemerhati Kuliner, Murdijati Gardjito. Riset yang dilakukannya tentang soto menghasilkan data terkini bahwa terdapat 75 jenis soto di Indonesia, misalnya soto mi udang dari Lampung, soto tengiri dari Jambi, soto bongko dari Cirebon, dan soto ambengan dari pesisir utara Jawa Timur. Daerah Jawa dan Madura mempunyai 61 jenis soto dengan persebaran paling banyak di wilayah Jawa Timur, yaitu Jawa Timur bagian selatan sebanyak 10 jenis soto dan pesisir utara Jawa Timur sebanyak 9 jenis soto.
Para Pembicara Bekraf Creative Labs 2017, Culinary Conference & Creative Expo
Dilihat dari jumlah bumbu yang digunakan, Soto Padang menempati posisi pertama sebagai soto yang menggunakan bumbu yang paling banyak yaitu 16 macam bumbu. Selanjutnya soto kambing ngelo dan Soto Magetan menggunakan 15 macam bumbu, soto nangka menggunakan 14 macam bumbu, dan soto ambengan menggunakan 13 macam bumbu.
Ia menjelaskan bahwa dilihat dari bahan yang digunakan, terdapat 42 variasi bahan dalam seluruh jenis soto. Jika dikelompokkan, maka komposisi bahan pembuat soto terdiri atas 66,67% bahan nabati dan 33,33% bahan hewani. Perbedaan variasi bahan tersebut tergantung pada potensi sumber daya alam daerah masing-masing. “Salah satu fakta pendukung soto pantas sebagai representasi kuliner Indonesia adalah terpilihnya soto ambengan menjadi street food of the year tahun 2013-2017 pada World Street Food Congress di Manila,” jelas Murdijati.
Sejarah soto
Soto telah dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan. Dalam buku karya C.L. van der Burg yang berjudul Voeding in Nederlandsch-Indië disebutkan orang-orang pribumi sering membuat sejenis kaldu, soto namnya, dibuat dari babatan sapi terbaik yang direndam di dalam air. “Secara etimologi, beberapa sumber menyebutkan soto berasal dari bahasa Cina, misalnya pada buku Nusa Jawa Silang Budaya karangan Denys Lombard, soto berasal dari kata căo dù (chau tu) –dalam bahasa Hokkian berbunyi chau to,” jelas Dosen Departemen Sejarah Universitas Padjajaran, Fadly Rahman. Selain itu, Aji ‘Chen’ Bromokusumo dalam Buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara menguraikan kata soto menjadi cao, shao dan du. Cau bermakna rumput yang merujuk pada rempah-rempah yang dikenal sebagai kekayaan alam Nusantara. Shao berarti memasak, yang secara tidak langsung menyiratkan orang-orang peranakan Tionghoa mahir dalam seni memasak. Adapun du berarti babat atau jeroan, yang menyiratkan penggunakan bahan hewani tersebut dalam soto.
Ia menjelaskan bahwa sangat sedikit pustaka yang membahas tentang soto pada masa penjajahan. Di sisi lain pada abad ke-19, daging menjadi konsumsi harian orang-orang Eropa karena kebanyakan mereka berpendapat bahwa kekurangan konsumsi daging akan menyebabkan anemia. Penggunaan jeroan sebagai bahan diduga menyebabkan soto tidak jarang didapati dalam buku-buku kolonial, hal ini karena pemahaman orang-orang Eropa terhadap higiene dalam makanan. Dalam sumber-sumber visual kolonial yang menyajikan potret penjual soto (soto verkooper), tampak orang Jawa dan Madura sebagai pedagang dan pembeli soto. “Ini menandakan bahwa soto yang semula adalah kuliner peranakan Tionghoa, kemudian berkembang menjadi kuliner dengan cita rasa yang diadopsi sesuai selera makan orang-orang pribumi,” jelasnya.
Harumnya kopi Indonesia di kancah global
Secangkir seduhan kopi mengandung cerita panjang tentang sejarah, asal usul serta nilai fungsional yang terkandung di dalamnya. Menurut Wartawan Senior Harian Kompas, Andreas Maryoto, perkebunan kopi di Jawa dimulai ketika masa penjajahan, terutama ketika pemerintahan Jenderal William van Outhoorn pada tahun 1635-1720. Di Sumatera, biji kopi didistribusikan dari wilayah pedalaman menuju Padang. Kecamatan Natal menjadi salah satu yang dikenal sebagai tempat pengiriman kopi. Adapun kegiatan perdagangan kopi mulanya bukanlah dilakukan oleh para kolonial, namun oleh para jamaah haji dari Minangkabau.
Selain pantai barat Sumatera, Aceh juga menjadi daerah persebaran kopi. Hubungan Kerajaan Aceh dengan Kesultanan Ottoman di Turki menjadikan tradisi minum kopi merambah ke daerah Turki. Hal tersebut ditandai dengan berdirinya tempat minum kopi pertama di Istambul pada 1475 yang bernama Kiva Han. “Mungkin Kivan Han inilah yang kemudian dikenal menjadi istilah kafe ketika masuk ke Eropa,” jelas Andreas.
Ia menambahkan bahwa di saat yang sama, berkembang paham sufisme juga berkembang di Turki. Kopi menjadi minuman yang dihidangkan sebelum para sufi melakukan ritual agar kuat menahan kantuk. Di Aceh juga muncul beberapa tokoh sufisme seperti Hamzah Fanzuri dan Syamsudin Al Sumatrani. Oleh karena itu, Andreas berpendapat bahwa sangat mungkin paham sufisme di Aceh berasal dari Turki.
Secara umum, terdapat tiga jenis kopi yang diperdagangkan yaitu kopi biji, kopi sangrai dan kopi bubuk. Selain aroma dan cita rasanya yang banyak disukai, kopi juga mengandung senyawa-senyawa yang bermanfaat baik untuk tubuh. “Kopi mengandung senyawa-senyawa larut air, misalnya kelompok senyawa trigonelin, kafein dan asam klorogenat yang mempunyai nilai fungsional bagi tubuh,” tutur Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Umar Santoso.
Ia menerangkan bahwa pengaruh baik konsumsi kopi terhadap kesehatan antara lain kopi dapat mengurangi rasa kantuk, meningkatkan kesegaran dan kenyamanan, serta meminimalisasi terjadinya kanker. Kopi juga mempunyai efek perlindungan terhadap terjangkitnya penyakit alzhaimer. Kandungan antioksidan yang tinggi pada kopi membantu meningkatkan kekebalan tubuh.
Namun, di sisi lain berlebihan dalam meminum kopi juga akan menimbulkan efek buruk. Bahkan, mengonsumsi 80 – 100 cangkir kopi atau 23 liter kopi dalam waktu dekat dapat menimbulkan kematian. Jumlah konsumsi kopi yang direkomendasikan yaitu sebanyak 4 cangkir per hari atau setara dengan kandungan kafein 400 mg.
Kopi Indonesia masih terus berpotensi untuk dikembangkan karena meskipun kopi lokal sebagian besar telah di ekspor, namun Indonesia masih memerlukan impor kopi. Data Dinas Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2010 menunjukkan bahwa 61% dari total kopi yang ada di Indonesia ditujukan untuk pasar ekspor. Namun, Indonesia masih memerlukan 19.755 ton kopi dari hasil impor atau 3% dari total kopi. “Tumbuhnya penduduk Indonesia dari tahun ke tahun menjadi potensi perkembangan warung-warung kopi untuk terus meningkat,” jelas pendiri Koperasi Klasik Beans, Eko Purnomowidi. KI-29