Konsep

Telur dalam Sistem Pangan

Oleh Soenar Soekopitojo

Sejak lama telur telah populer di masyarakat dan menjadi bagian dari kehidupan manusia. Telur melambangkan kelahiran, kesuburan dan kemakmuran. Dalam upacara keagaman atau upacara adat seperti selamatan misalnya, telur selalu disertakan. Selain itu, telur juga mempunyai banyak kegunaan dalam sistem pangan, sehingga tidak bisa dipisahkan dari dunia kuliner. Di antara berbagai jenis telur, telur ayam paling banyak dimanfaatkan untuk masakan maupun bahan pembuat kue. Ada juga yang memanfaatkan telur dari jenis unggas lain dalam jumlah terbatas, seperti telur bebek/itik (untuk martabak, telur asin), telur angsa (untuk adonan kue) ataupun telur puyuh (untuk sup, adonan bakso).

Telur bernilai gizi tinggi, terutama sebagai sumber protein berkualitas tinggi. Bahkan menurut ahli gizi, telur mempunyai protein yang sempurna, sehingga oleh WHO (World Health Organization) dijadikan acuan pembanding protein bahan pangan lain. Telur juga mengandung sejumlah vitamin dan mineral serta komponen lain yang bermanfaat untuk kesehatan seperti karotenoid misalnya, sehingga telur dapat disebut sebagai pangan fungsional. Di sisi lain, konsumsi telur selalu dikaitkan dengan kandungan kolesterol dalam kuning telur yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke.

Kelebihan lain dari telur adalah harganya relatif murah, praktis dan mudah untuk disiapkan (convenient), rasanya enak dan mudah dikunyah serta mempunyai peranan penting dalam berbagai resep masakan. Telur dapat dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat dari bayi sampai orang tua. Telur bisa dihidangkan sebagai sajian tunggal, seperti telur dadar misalnya, atau sebagai campuran dalam berbagai masakan atau pangan olahan.

Nilai gizi telur 
Dalam Piramida Pedoman Pangan, telur dimasukkan dalam kelompok bahan pangan kaya protein, bersama-sama dengan daging, ayam, ikan dan kacang-kacangan. Protein telur dipandang sebagai protein ideal, karena mengandung semua asam amino esensial dalam proporsi yang seimbang untuk gizi manusia serta mempunyai nilai biologis tinggi. Telur juga menjadi sumber yang baik untuk mineral besi, vitamin riboflavin, folat, vitamin B12, D dan E.

Telur ayam mempunyai berat rata-rata sekitar 57 gram, yang terdiri dari kulit telur (±11%), putih telur (±58%) dan kuning telur (±31%). Kulit telur (komponen utamanya kalsium karbonat) berfungsi sebagai pelindung isi telur terhadap kontaminasi dari luar (mikroba atau partikel asing). Adanya pori-pori pada kulit telur memungkinkan telur kehilangan karbondioksida dan air serta masuknya oksigen dari luar. Hal ini dapat mempercepat penurunan kualitas telur dengan membesarnya kantung udara serta meningkatnya risiko tumbuhnya mikroba, apabila cara penyimpanannya kurang tepat. Warna kulit telur (putih atau coklat) tidak menentukan kualitas telur.

Putih telur mengandung sedikit lemak, vitamin riboflavin (yang memberi warna kehijauan terhadap putih telur), niasin, biotin dan mineral seperti magnesium dan potasium. Putih telur banyak digunakan dalam aplikasi pangan karena sifat-sifat fungsionalnya yang sangat baik, seperti daya buih, emulsifikasi dan daya gel.

Kuning telur juga berkontribusi terhadap flavor dan mouthfeel serta mempunyai banyak kegunaan kuliner. Kuning telur mengandung semua jenis trigliserida lemak, fosfolipida dan sterol.

Sterol utama kuning telur adalah kolesterol. Bertolak belakang dengan informasi tentang telur dan kolesterol yang beredar selama ini, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa jumlah konsumsi telur seseorang, kecil pengaruhnya terhadap jumlah kolesterol dalam darah. Sebenarnya, yang lebih penting adalah mengurangi jumlah asam lemak jenuh dalam diet daripada tidak mengkonsumsi telur sama sekali, kecuali untuk orang-orang tertentu atas petunjuk dokter. Selain itu, telur juga mempunyai rasio asam lemak tidak jenuh terhadap asam lemak jenuh cukup baik, yaitu sekitar 2:1.

Vitelin merupakan protein utama kuning telur, selain ada fosvitin yang mengandung fosfor dan livetin yang mengandung sulfur. Sedangkan pigmen kuning telur yang utama adalah xantofil, selain ada karoten dan likopen.

Sementara itu, akhir-akhir ini di pasaran banyak dijumpai berbagai jenis telur dengan klaim-klaim tertentu, seperti telur organik, telur rendah kolesterol, telur omega-3, telur kaya vitamin E atau juga telur substitusi.

Telur yang diberi label “organik” harus memenuhi standar produksi pangan organik, baik untuk komponen pakan maupun cara pemeliharaan ayamnya. Untuk telur dengan label “rendah lemak dan rendah kolesterol”, telur tersebut setidaknya harus mengandung lemak dan kolesterol 25% lebih rendah dari standar telur pada ukuran yang sama. Telur dengan klaim tersebut dapat dihasilkan dari seleksi ayam dengan umur tertentu yang diberi pakan dengan diet khusus. Akan tetapi tidak boleh digunakan obat, hormon, antibiotik serta turunan yodium (iodin). Cara pemberian diet khusus terhadap ayam petelur juga dilakukan untuk menghasilkan telur kaya omega-3 maupun kaya vitamin E. Sedangkan telur substitusi umumnya tidak mengandung kuning telur asli dan dapat mengandung putih telur sekitar 80%. Kuning telur biasanya dibuat dari minyak jagung, padatan susu tanpa lemak (non fat milk solid, NFMS), kalsium kaseinat, isolat protein kedelai, minyak kedelai dan sebagainya. Telur substitusi juga tidak mengandung kolesterol, rendah lemak dan lebih banyak mengandung lemak tidak jenuh dibandingkan dengan telur pada umumnya.

Fungsi lain 
Selain fungsi gizi seperti yang diuraikan di atas, telur juga mempunyai fungsi lain dalam sistem pangan, khususnya sifat fungsional yang berkaitan dengan aplikasi pengolahan pangan. Sifat fungsional tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia protein, baik komposisi asam amino, ukuran molekul, konformasi maupun ikatan dan gaya yang berperan dalam struktur molekul protein tersebut. Sifat-sifat fungsional tersebut antara lain: Pengikat (binder) dan pengental, bahan penjernihan, pengemulsi, pembentuk busa, bahan pengembang, aerasi dan pembentuk warna.

Sementara itu, pengawetan telur biasanya bertujuan untuk mempertahankan telur tetap segar dengan penurunan kualitas yang minimal serta tetap terjaga keamanannya. Kualitas telur biasanya ditentukan berdasarkan keadaan putih telur, kuning telur, kulit telur serta besarnya kantung udara. Standar kualitas tersebut dinyatakan dalam Grade AA, A dan B dengan masing-masing indikator dan penggunaan idealnya. Sedangkan ukuran telur bukan merupakan bagian dari kualitas telur, tetapi hanya untuk klasifikasi saja. Suhu dingin, kelembaban tinggi, dan penanganan yang tepat dibutuhkan dalam penyimpanan. Jika dipertahankan dingin, telur mungkin dapat aman disimpan selama 30 hari (4-5 minggu) setelah dikemas. Bahkan telur dapat dipertahankan sampai 6 bulan dalam penyimpanan dingin (00C), jika pori-porinya tertutup.

Telur segar yang dibeli dalam wadah karton, sebaiknya tetap disimpan dalam wadah yang sama. Telur dengan wadah tertutup direkomendasikan disimpan di bawah suhu 70C. Tanpa perlindungan dari karton, telur akan kehilangan air dan udara dengan laju yang lebih tinggi, sehingga dapat menurunkan sifat-sifat fungsionalnya (daya buih, koagulasi dan sebagainya). Selain itu, albumen dapat menjadi lebih encer, sehingga bila telur digoreng, kuning telurnya tidak dapat dipertahankan di pusat. Sedangkan apabila telur diletakkan dalam wadah terbuka, sebaiknya dihindarkan dari bahan pangan lain yang berbau tajam (bawang, ikan, dan sebagainya), karena telur dapat menyerap bau tersebut melalui pori-porinya. Bagian-bagian dari telur yang sudah dipecah dapat aman disimpan dalam refrigerator dengan cara memasukkan kuning telur ke dalam air (1-2 hari) serta putih telur dalam wadah tertutup (sampai 4 hari).

Penggunaan minyak mineral termasuk salah satu cara pengawetan telur. Minyak akan menutup pori-pori sehingga permeabilitas mikroba berkurang. Minyak dapat mempertahankan kandungan air dan karbondioksida serta mencegah meningkatnya pH selama penyimpanan. Telur dapat disemprot atau direndam dalam minyak mineral, tetapi ketika direbus, telur akan sulit untuk dikupas. Telur “segar” biasanya juga sulit dikupas setelah direbus, karena pH albumen yang kurang alkalis (lebih rendah) dibandingkan dengan telur yang sudah disimpan lama (pH albumen lebih tinggi/lebih alkalis). Akan tetapi, telur yang lama juga akan sulit dikupas apabila direbus dalam air yang asam (dapat digunakan air garam).

Pasteurisasi harus dilakukan terhadap produk komersial telur cair, kering, maupun beku (sudah pecah kulit). Perlakuan tersebut dapat menghancurkan mikroba seperti bakteri Salmonella (dari kotoran unggas) yang dapat masuk ke dalam telur, sehingga foodborne illness dapat dihindarkan. Setelah pasteurisasi, sifat fungsional telur masih dapat dipertahankan. Sebagai contoh adalah putih telur masih dapat dibuat meringue, walaupun membutuhkan waktu pengocokan lebih lama untuk membentuk busa, sedangkan telur atau kuning telur juga masih dapat berfungsi sebagai pengemulsi. Sementara itu, ultra-pasteurisasi yang dikombinasikan dengan pengemasan aseptik banyak dikembangkan akhir-akhir ini untuk produk-produk komersial (telur, putih telur dan kuning telur).

Telur pecah kulit dapat dibekukan setelah dipasteurisasi. Putih telur yang tidak dimasak, setelah freezing dan thawing masih dapat mempertahankan sifat fungsionalnya, sedangkan putih telur masak akan mengalami sineresis (keluarnya air) ketika thawing. Telur atau kuning telur membentuk gel dan menjadi gummy ketika thawing sebagai hasil dari agregasi LDL (low density lipoprotein) dalam kuning telur. Agregasi dapat dicegah dengan penambahan gula, sirup jagung atau garam (tergantung penggunaan selanjutnya).

Dehidrasi merupakan cara pengawetan sederhana yang sudah dikenal lama. Mikroba dapat dikendalikan jika kandungan air dikurangi dengan spray drying atau pengeringan dalam tray (produk berbentuk flake atau granula). Putih telur harus dihilangkan gulanya agar tidak terjadi reaksi Maillard antara protein dan gula yang dapat menyebabkan warna coklat dan flavor yang tidak diinginkan. Kuning telur mengalami perubahan tidak dapat balik (irreversible) struktur lipoproteinnya ketika didehidrasi, sehingga kehilangan sifat fungsional dan karakteristik sensori yang diinginkan.

Soenar Soekopitojo, Staf Pengajar Universitas Negeri Malang dan Peneliti SEAFAST Center IPB Bogor.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *