Terkadang masih umum kita temukan di beberapa outlet restoran atau kemasan produk pangan yang menggunakan klaim 100% halal. Klaim tersebut sangat keliru dan berlebihan. Belum tentu dan tidak dapat dijamin pula bila produsen telah mengajukan sertifikasi halal MUI walaupun telah memasang klaim 100% halal. Halal itu mutlak dan tidak ada persentasenya. Karena dalam kaidah syariah, yang halal pun jelas dan haram pun jelas ìal-halalalu bayyinun, wal- haraamu bayyinunî. Juga klaim tersebut cenderung dapat menimbulkan stigma ataupun perspektif lain seperti halal 90% sisanya 10% haram, halal 99% sedikitnya 1% haram. Diperkuat pula dengan hadist berikut Nabi SAW melarang dengan tegas, dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Setiap minuman yang memabukkan itu haram, dan minuman yang dalam jumlah banyaknya memabukkan, maka segenggam darinya pun haram.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Berdasarkan hukum Islam, sedikit saja produk terkontaminasi bahan yang haram, maka hukumnya tetap saja haram. Misalnya, penggunaan ang ciu pada restoran ataupun warung ñ warung nasi goreng, penuangan sedikit air tape pada pembuatan bakmi masakan cina. Meskipun ang ciu atau arak merah dan air tape digunakan dalam porsi yang sedikit dalam masakan, hal tersebut tentu saja menyebabkan kontaminasi pada produk yang dihasilkan, yang awalnya nasi goreng secara kasat mata tidak diragukan kehalalannya menjadi haram untuk dikonsumsi. Pada kasus lain, rhum digunakan untuk memperkuat aroma yang menusuk hidung, memberikan sensasi dingin dan memperpanjang umur simpan pada cake buah.
Selengkapnya tentang label halal dalam industri horekaba dan UKM dapat dibaca di Majalah KULINOLOGI INDONESIA edisi Maret 2017