Oleh Prawoto Indarto
Bagi yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya, pasti sering atau minimal pernah melewati daerah wisata Puncak, jalur yang menghubungkan antara kota Cianjur dengan kota Bogor.
Di sepanjang jalur itu, mata kita senantiasa ‘dingin’ oleh panorama hijau dari perkebunan teh. Bagaimana tidak, sejak tahun 1930 di tanah Jawa terdapat sekitar 289 perkebunan teh, dimana 249 berada di Jawa Barat. Orang-orang Holland yang ‘sempat singgah’ sekitar 350 tahun di Nusantara ini, memang menempatkan wilayah Jawa Barat ini menjadi sentra utama perkebunan teh mereka.
Perkebunan teh di tanah Pasundan ini diperkirakan memiliki luas sekitar 109.000 ha, yang tersebar mulai dari kabupaten Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bogor, Purwakarta, Subang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Majalengka.
Kabupaten Bandung tercatat sebagai daerah penghasil teh utama di Jawa Barat. Sekitar 42% produksi teh di Jawa Barat berasal dari wilayah ini. Perkebunan teh di Bandung berada di Ciwidey, Pengalengan, Pasirjambu, Cikalong Wetan, dan Cipeundeuy.
Luas perkebunan teh pada masa Hindia Belanda itu, telah membuat nama Java dikenal sebagai salah satu penghasil utama teh dunia. Maka tidak heran bila predikat Java Tea cukup dikenal di pasar teh dunia. Karena hasil dari perkebunan teh yang dikelola oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu, memang ditujukan sebagai produk ekspor terutama untuk pasar Eropa dan Amerika. Pemerintah Hindia Belanda yang berkantor di Rotterdam, menerima pemasukan cukup besar dari hasil perkebunan teh di tanah jajahan mereka.
Tidak itu saja, nama Java sempat tercatat dengan tinta emas sebagai salah satu penghasil teh pertama di luar Cina yang masuk Balai Lelang Eropa tahun 1835, mendahului teh dari Assam, India, yang saat itu sedang ditanam oleh Inggris
Sampai hari ini, wilayah yang dikenal sebagai Bumi Parahiangan ini masih menyokong sekitar 70% total produksi teh nasional. Salah satu perkebunan negara yang berada di wilayah ini adalah PT Perkebunan Nusantara VIII. Perusahaan ini mengelola perkebunan teh terbesar dengan luas area sekitar 23.000 Ha.
Perkebunan teh di Indonesia terbagi dalam 3 kepemilikan, yaitu perkebunan besar negara yang dikelola oleh
PT. Perkebunan Negara, perkebunan swasta dan perkebunan teh rakyat. Dari 3 kepemilikan tersebut, perkebunan teh rakyat ternyata memiliki luas area sekitar 50% dari total perkebunan teh yang ada di Indonesia. Meskipun begitu, tingkat produktivitas perkebunan teh rakyat masih sangat rendah bila dibandingkan dengan PT. Perkebunan Negara maupun perkebunan swasta.
Selama berpuluh-puluh tahun, Indonesia termasuk 5 besar eksportir teh dunia. Secara produkstivitas Kenya merupakan penghasil terbesar teh dunia disusul Sri Lanka, India, China dan Indonesia. Posisi Indonesia di pasar teh dunia kini mulai merosot dibayang-bayangi negara baru penghasil teh seperti Vietnam. Perubahan tren pasar teh dunia yang menuntut beragam sertifikasi, serta kondisi internal telah membuat pasar teh Indonesia semakin terjepit.
I love tea
Selain teh, negeri jamrud kathulistiwa ini oleh Belanda juga ditanami kopi. Dua komoditas ini sangat dikenal oleh masyarakat dunia, sehingga mendapat predikat sebagai Java tea dan Java cofffee. Java Coffee Jampit adalah salah satu produk kopi terbaik dunia, perkebunannya ada di wilayah Ijen, Jawa Timur yang kini dikelola oleh PT Perkebunan Nusantara XII. Sekitar tahun 1940’an, ada lirik lagu yang sangat populer dan sering dinyanyikan di Java Jive coffee shop di Atlanta, Georgia. Lirik lagu itu memberi gambaran bagaimana masyarakat Amerika sangat menggemari kopi dan teh dari Java:
” I love coffee, I love tea
I love the Java
Jive and it love me
Coffee and tea
and the jivin’and me
A cup, a cup, a cup,
a cup, a cup!”
Java sebetulnya telah menjelma menjadi brand yang sangat kuat. Namun sayang bahwa brand tersebut kini patennya bukan di Indonesia. Java Tea kalau tidak salah dipatenkan oleh sebuah perusahaan teh kemasan di Jepang, sementara Java Coffee patennya ada di Amerika. Di gerai modern market, sekarang bisa dijumpai kopi dari Singapura dengan label Javabica.
Java tea sebetulnya bisa menjadi salah satu competitive advantage bagi brand teh Indonesia di pasar global. Meski Indonesia merupakan salah satu eksportir besar teh dunia, namun ekspor teh Indonesia selama ini kebanyakan masih dalam bentuk bulk (curah).
Teh dari Indonesia banyak dipakai sebagai bahan campuran, di-blend dengan teh dari Negara penghasil teh lainnya seperti Kenya, Sri Lanka, India atau Cina. Oleh para packer, hasil teh yang telah di-blend ini kemudian diberi label, dan dipasarkan atau diekspor kembali, termasuk ke pasar teh di Indonesia dalam kategori teh import.
Karena teh Indonesia banyak diekspor dalam bentuk bulk, maka produk teh Indonesia lebih bersifat sebagai produk komoditi, dimana salah satu konsekuensi adalah harga bisa sangat fluktuatif. Pada sisi lain, karena teh Indonesia lebih banyak dipakai sebagai bahan campuran, maka brand teh Indonesia tidak pernah dikenal di masyarakat internasional, termasuk di negeri sendiri.
Java tea yang bukan teh
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat ’jalan-jalan di dunia maya’, searching mengenai Java Tea. Ternyata brand Java Tea sekarang juga dipakai untuk memberi label pada tanaman daun Remujung alias Kumis kucing. Dengan nama latin Orthosyphon stamineus, produk yang telah diekstrak ini dipasarkan sebagai produk herbal yang dikategorikan sebagai fitofarmaka. Java tea versi Kumis kucing ini diposisikan untuk menjaga kesehatan ginjal, diabetes, dan hipertensi.
Indonesia memang terkenal sebagai surga tanaman herbal. Kumis kucing merupakan salah satu jenis tanaman herbal yang banyak tumbuh di tanah Jawa. Oleh nenek moyang kita, tanaman ini banyak dipakai sebagai bahan herbal pada ramuan kesehatan leluhur kita, yang dikenal dengan sebutan jamu.
Popularitas teh sebagai minuman yang dikonsumsi oleh masyarakat dunia, pada satu sisi telah menimbulkan beberapa ’kesalahpahaman’. Banyak minuman yang bukan berasal dari tanaman teh, sering mendompleng popularitas teh dengan menambahkan kata-kata ’tea’. Kelompok ini di pasar populer dengan istilah ’herbal tea’.
Variasi herbal tea ini bermacam-macam, dari mulai buah, bunga, batang kulit sampai biji yang dikeringkan untuk diseduh atau direbus dengan air dan disajikan sebagaimana minuman teh. Contohnya, ada fruitea (dari buah yang dikeringkan), Chamomile (bunga chamomile) sampai yang kini sedang populer di masyarakat Indonesia sebagai Rosella tea yang berasal dari bunga rosella yang dikeringkan.
Sebagaimana disebut sebelumnya, meski menggunakan istilah tea, tapi sebenarnya tidak ada sedikitpun unsur tea atau teh di dalamnya. Dalam konteks ini, tea pada minuman kategori herbal tea lebih sebagai sebuah istilah. Karena herbal tea itu memang dari awal diposisikan sebagai produk subtitution tea. Sehingga memang herbal tea bisa diklasifikasikan bukan
“the real tea”.
Pengertian ’tea’ sesungguhnya adalah tanaman yang berasal dari Camellia sinensis yang ditemukan di Cina oleh She Nong She sekitar 5.000 tahun yang lalu. Di dalam buku Real Tea Real Health (2009), saya telah menyarankan untuk mengubah herbal tea menjadi herbal drink. Istilah ini merujuk bahwa herbal tea merupakan minuman yang berasal dari tanaman herbal, sehingga sebetulnya lebih tepat disebut sebagai herbal drink, tanpa menggunakan kata-kata tea yang memang tidak ada hubunganya sama sekali, sama halnya dengan Java tea yang dipakai untuk memberi sebutan kepada ekstrak tanaman Kumis Kucing.
Prawoto Indarto
Sekretaris Indonesia TEH Lover’s
Forum Kajian Promosi Teh Indonesia.