Setiap daerah di Indonesia memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing sebagai daerah agraris yang memengaruhi budaya makan di daerah itu. Namun, ada beberapa makanan khas daerah atau makanan tradisional yang sudah jarang ditemui dan bahkan terancam punah. Dalam acara Pelangi (Petani Andalan Negeri) Award 2016 yang diadakan pada 13 Oktober 2016 lalu di Cibubur, dibahas tentang makanan daerah berbasis kekayaan lokal harus terus dijaga karena selain sebagai upaya diversifikasi pangan, juga sebagai bagian dari budaya dan kearifan lokal yang selayaknya tetap dijaga kelestariannya. Beberapa makanan tersebut antara lain kue jenang jagung asli Palembang, grontol jagung dari Jawa Tengah, jagung bose dari Nusa Tenggara Timur, nasi jagung dari Indonesia Timur serta Binthe biluhuta dari Gorontalo.
Salah satu alasan makanan–makanan tersebut sudah mulai jarang ditemukan adalah karena bahan baku jagung perlu diimpor setiap tahun. Selain itu, komoditas jagung lebih diprioritaskan untuk pakan ternak. Winarno Tohir, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara pengimpor jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara, padahal kita mampu untuk menghasilkan jagung dari negeri sendiri.
Presiden Direktur Monsanto Indonesia, Ganesh Pamugar Satyagraha menambahkan bahwa petani jagung di Indonesia dapat menghasilkan panen yang lebih baik dengan menerapkan teknologi pertanian yang telah terbukti berhasil di berbagai belahan dunia. Petani tradisional bisa menggunakan benih hibrida dan para petani benih hibrida bisa menggunakan benih bioteknologi.
Tentunya penggunaan teknologi ini pun masih diperlukan pendampingan agar tepat guna, karena itu perlunya kerjasama baik dari perusahaan swasta, ahli-ahli di dunia pertanian dan para petani. Karena itu mari dukung penuh seluruh upaya-upaya agar makanan daerah seperti grontol jagung tidak punah dan masih dapat dinikmati oleh generasi Indonesia hingga di masa datang. KI