Oleh Hardinsyah
Roti merupakan produk bakery yang paling pertama dikenal dan paling populer. Roti yang semula dikenal sebagai makanan bule penjajah di Indonesia kini semakin populer dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia, terutama golongan menengah ke atas. Memang, mula-mula hanya pada kelompok masyarakat tertentu, sebatas sebagai sarapan pagi, yang umumnya disajikan bersama-sama dengan telur dadar atau segelas susu. Kemudian berkembang menjadi pola makan masyarakat kota yang sibuk.
Kini roti seringkali digunakan sebagai sarapan, kudapan dan makanan siap santap ketika dibutuhkan. Berdasarkan data Susenas 2007 (BPS, 2007) rata-rata belanja rumahtangga perkapita perbulan untuk belanja roti adalah Rp 3.198,- di daerah perkotaan dan Rp 1.272,- di daerah pedesaan. Data tersebut data tiga tahun yang lalu, saat ini tentu lebih besar lagi, dan pada kelompok ekonomi menengah ke atas bisa jadi 3-5 kali lebih besar.
Roti dibuat dari tepung, air dan berbagai bahan tambahan pangan, ragi atau pengembang, garam atau gula, minyak atau mentega dan kadang telur tergantung jenis rotinya. Tepung yang biasa digunakan untuk membuat roti adalah tepung terigu dengan protein yang tinggi. Semula orang menyukai roti putih (white bread) roti yang dibuat dari terigu yang digiling halus (refined wheat flour) yang diputihkan. Kandungan gizi (vitamin dan mineral) refined wheat flour telah benyak yang hilang dalam proses pembuatan tepung, terutama kandungan berbagai vitamin B. Selain itu juga kandungan serat refined wheat flour amat rendah.
Dari segi bahan dan penampakannya, roti dapat dibedakan atas roti putih (white bread) dan roti cokelat (whole wheat bread). Roti putih dibuat dari tepung terigu, sedang roti cokelat dibuat dari tepung gandum utuh. Proses pengolahan gandum menjadi terigu akan membuang bagian dedak yang kaya mineral dan serat pangan (dietary fiber). Kebolehan roti coklat sudah diungkap Hippocrates 25 abad yang lalu bahwa roti dari tepung gandum utuh mampu membersihkan usus, melancarkan ke belakang.
Ilmu Gizi semakin berkembang dan manusia semakin memahami bahwa roti putih (white bread) telah banyak kehilangan zat yang bermanfaat bagi kesehatan terutama berbagai vitamin B dan serat pangan. Berbagai vitamin B tersebut bermanfaat bagi optimalisasi proses pencernaan (metabolisme) makanan, sistem produksi energi tubuh, dan sistem syaraf. Serat pangan bermanfaat untuk melancarkan BAB (anti konstipasi), pengendalian tekanan darah dan kadar kolesterol tubuh.
Ahli Gizi – Adelle Davis pada tahun 1947 mengembangkan kreasi boga pembuatan roti yang lebih sehat, yaitu roti coklat (whole) sebagai tandingan dari white bread yang bahkan diberi bahan kimia pemutih dan pelembut. Roti coklat ini bukan dibuat dari terigu yang digiling halus (refined wheat flour) tetapi dari terigu yang digiling kasar (whole wheat four) sehingga kehilangan serat pangan dan aneka vitamin B-nya amat minimal, yang disebut dengan roti coklat (whole bread).
Perkembangan berikutnya, untuk mengatasi kehilangan berbagai vitamin dan mineral dalam proses pembuatan tepung terigu putih sekaligus untuk meningkatkan kandungan berbagai vitamin dan mineral yang umumnya defisien dalam konsumsi penduduk, pemerintah melakukan fortifikasi terigu, yaitu pengayaan atau penambahan zat gizi ke dalam tepung terigu. Pemerintah Amerika Serikat telah memulainya sejak tahun 1999 dengan menambahkan beberapa vitamin B termasuk asam folat (B9) ke dalam tepung terigu pada tahap akhir proses pembuatan tepung terigu.
Di Indonesia, pemerintah juga telah mewajibkan setiap produsen dan importir terigu untuk memfortifikasi tepung terigu dengan berbagai vitamin dan vineral dalam rangka perbaikan gizi penduduk, terutama untuk mengatasi masalah anemia gizi dan defisiensi zinc dan asam folat. Berdasarkan kebijakan pemerintah, tepung terigu yang beredar di Indonesia seharusnya telah difortifikasi dengan zat besi (50 ppm), zinc (30 ppm), vitamin B1 (2,5 ppm), vitamin B2 (4 ppm) dan asam folat (2 ppm). Oleh karena itu semua produk olahan dari terigu termasuk roti di Indonesia telah diperkaya dengan zat gizi tersebut. Proses pembuatan roti memerlukan suhu tinggi sehingga kandungan vitamin B tersebut akan berkurang selama proses pembuatan roti, tetapi masih lebih baik dibanding terigu tanpa fortifikasi.
Akhir-akhir ini tampak masyarakat semakin peduli dan kritis terhadap produk-produk pangan, termasuk terhadap roti. Konsumen menengah ke atas dalam memilih produk pangan mulai memperhatikan komponen dan bahan tambahan pangan yang pasti keamanannya bagi kesehatan. Oleh karena itu ke depan akan semakin populer bagi masyarakat golongan ekonomi atas roti yang dibuat dengan bahan yang mempunyai pencitraan nilai kesehatan yang lebih baik.
Misalnya roti yang dicitrakan bagi orang dewasa dan lansia yang dalam proses pembuatannya diperkaya dengan asam amino esensial tertentu (tryptofan) yang minim kandungannya dalam tepung terigu; roti dengan pengayaan kandungan vitamin B12 dan asam lemak omega-3 bagi anak-anak; roti dengan pengayaan kandungan asam folat, B12, omega-3 bagi lansia. Roti dengan pengayaan kalsium dan vitamin D dan K juga suatu kemungkingan roti masa depan dengan semakin meningkatnya kejadian osteoporosis dan manusia semakin lebih lama melindungi diri dari paparan sinar matahari. Juga dalam kaitannya dengan bukti klinis bahwa protein kedelai dan tepung tempe bermanfaat bagi pengendalian kolesterol, tidak mustahil akan muncul produk roti yang diperkaya protein kedelai atau tepung tempe. Di samping itu juga sosok roti masa depan yang tidak menggunakan bahan-bahan yang terbukti atau sedang diperdepatkan tidak baik bagi kesehatan, terutama bagi orang yang berisiko mengalami hipertensi, hiperkolesterol dan hiperglikemia. Misalnya penggunaan minyak yang dihidrogenasi, penggunaan minyak yang tinggi kandungan lemak trans dapat meningkatkan kadar kolesterol darah.
Bagi anak-anak yang mempunyai gejala atau menderita autis diperlukan roti yang bebas gluten dan diperkaya vitamin B-kompleks termasuk B12. Dari segi pengolahan pangan, gluten ini bermanfaat karena sifatnya yang kenyal dan elastis, yang diperlukan dalam pembuatan roti agar dapat mengembang dengan baik dan mie supaya kenyal, atau beberapa produk makanan yang memerlukan gluten yang tinggi, seperti pembuatan kulit martabak telur supaya tidak mudah robek.
Prof Dr. Hardinsyah, MS
Ahli Gizi dan Pangan di Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB, dan
Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia