Asam lemak trans menjadi kontroversi yang cukup hangat dalam beberapa waktu terakhir. Industri jasa boga tentu menjadi salah satu pihak yang paling terkena imbas. Hal ini tidak aneh, karena lemak merupakan salah satu komponen penting dalam industri tersebut, baik sebagai ingridien maupun untuk membantu proses (seperti penggorengan).
Berbagai industri jasa boga terkemuka dunia, termasuk beberapa industri franchise yang memiliki jaringan internasional, ramai-ramai untuk menjauhi keberadaan asam lemak trans. Dalam industri jasa boga, asam lemak trans berasal dari jenis mentega (butter), cream, atau lemak lain yang berasal dari proses hidrogenasi parsial. (proses penjenuhan sebagian, minyak alami berbentuk cair diubah menjadi semi padat) Keberadaannya sendiri telah menjadi perhatian banyak pihak dunia. Hal ini tidak terlepas dari peranannya dalam mendorong peningkatan kolesterol jahat (LDL) dan risiko penyakit jantung.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat telah mewajibkan produk pangan yang beredar di Amerika untuk mencantumkan keberadaan asam lemak tersebut dalam label. Sementara itu, organisasi kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan agar asam lemak trans jika dilonsumsi sebaiknya tidak lebih dari 1% kebutuhan energi sehari-hari. Jadi, jika energi yang dibutuhkan dalam sehari adalah 2100 Kal, maka asupan asam lemak trans sebaiknya tidak boleh lebih dari 2,1 Kal. Lemak menyumbangkan energi sebesar 9 Kal/g, artinya dalam sehari sebaiknya kita mengkonsumsi lemak yang mengandung asam lemak trans tidak lebih dari 0.23 g.
Dari mana asal asam lemak trans?
Seperti yang telah disebutkan, asam lemak trans terutama berasal dari lemak yang mengalami proses hidrogenasi parsial. Proses ini bertujuan untuk membuat lemak menjadi lebih stabil terhadap oksidasi. Biasanya hidrogenasi dilakukan pada sumber lemak dari bahan nabati yang tumbuh pada daerah sub tropis.
Bagi kita yang tinggal di Indonesia tentu patut berbangga. Karena sebagai negara tropis, minyak kita (seperti minyak sawit dan kelapa) tidak perlu proses hidrogenasi untuk distabilkan, sehingga bebas dari Asam Lemak Trans (ALT).
Bahkan berbagai penelitian terus dilakukan untuk mengeksplorasi manfaat minyak sawit dan kelapa untuk menggantikan sumber lemak yang mengandung ALT.
Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh University of Georgia yang mencoba menggunakan minyak sawit untuk membuat margarin dengan kualitas yang sama dengan margarin komersial yang mengandung ALT.
Sementara itu, Journal of Food Chemistry (2009), mempublikasikan penggunaan stearin kelapa dan sawit pada pembuatan shortening.
Tentu, potensi ini menjadi peluang yang sangat bagus dalam perkembangan minyak nasional, terutama minyak sawit dan kelapa. Produsen yang sedang berbisnis di Indonesia pun akan lebih mudah untuk menjauhi keberadaan asam lemak trans. K-09